Senin, 18 Oktober 2010

Artikel tentang anak-anak korbang perang

ARTIKEL TENTANG ANAK-ANAK KORBAN PERANG



Anak-anak Korban Perang
Bagong Suyanto
Perang, di belahan dunia mana pun, senantiasa menimbulkan akibat yang mengerikan dan
menjadi pilihan terakhir yang seharusnya dihindari meski ada pihak-pihak yang tengah
bersengketa tak juga mencapai kata sepakat.
Seolah kita tak pernah belajar dari sejarah ketika bangsa di dunia ini sudah mengklaim sebagai
bangsa yang beradab, ternyata perang tetap berkobar di sejumlah tempat. Dan yang terasa
menyesakkan adalah ketika anak- anak yang harus ikut menanggung dosa dan kesalahan elite
politik yang haus darah.


Di pengujung akhir tahun 2008, perang pecah di Jalur Gaza. Serangan brutal Israel ke wilayah
Gaza terus berlanjut. Lebih dari 700 gempuran yang mereka lakukan menyebabkan 436 warga
Palestina tewas, termasuk 75 anak-anak. Sedikitnya 2.290 orang cedera. Dari Gaza, milisi
Hamas juga tak mau kalah, mereka membalas serangan Israel dengan melepas sekitar 500
roket ke wilayah Israel dan menewaskan empat warga sipil.
Perang senantiasa dikutuk bukan karena di sana kekerasan hadir tanpa kompromi dan darah
manusia dihalalkan, tetapi karena korban pertama yang paling menderita akibat perang tak
pelak adalah anak-anak dan warga sipil pada umumnya. Hati siapa yang tak miris ketika
menyaksikan foto mayat anak-anak yang bergelimpangan akibat gempuran rudal musuh dan
tatapan mata yang kosong dari anak-anak yang kebingungan karena tiba-tiba harus kehilangan
orangtua dan sanak keluarganya akibat serangan bom atau tembakan peluru tajam.
Makin meningkat
Dalam dua dasawarsa terakhir dilaporkan, puluhan juta anak hidup menderita dan bahkan
tewas akibat peperangan yang berkecamuk di sejumlah negara. Akibat perang yang tak
kunjung usai, korban warga sipil dari tahun ke tahun makin meningkat, khususnya anak-anak.
Menurut laporan Unicef (1996), pada Perang Dunia I, korban warga sipil semula hanya 14
persen, pada Perang Dunia II melonjak hingga 70 persen, dan pada tahun 1990 korban perang
dari warga sipil naik menjadi 90 persen.
Anak-anak yang semestinya memiliki hak untuk tumbuh kembang secara wajar ketika perang
1 / 3
Anak-anak Korban Perang
berkecamuk seluruh hak mereka bukan saja ditelantarkan, tetapi tak jarang bahkan dilanggar
begitu saja tanpa sedikit pun ada rasa belas kasihan. Perang, apa pun alasannya, adalah
sebuah tindak kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hak- hak anak yang paling
brutal.
Di sejumlah negara yang terjerumus dalam peperangan, risiko yang sangat mencemaskan
namun selalu tak terhindarkan menimpa anak-anak yang tinggal di daerah konflik bersenjata.
Selain kecacatan dan kehilangan nyawa adalah trauma, dan bahkan risiko anak-anak yang tak
berdosa itu menjadi korban eksploitasi untuk terlibat langsung dalam proyek balas dendam
yang tak kunjung usai.
Tentara anak
Fenomena anak-anak yang terlibat sebagai tentara anak adalah kasus yang sudah lama
menjadi keprihatinan dunia internasional, tetapi hingga kini jumlahnya tak juga berkurang.
Setiap kali konflik senjata pecah dan bom-bom dijatuhkan ke wilayah musuh, maka detik itu
pula akan muncul anak-anak yang jiwanya terluka: yang siap ikut mengangkat senjata
membalas dendam membunuh lawan karena telah merenggut nyawa orang- orang yang
mereka cintai. Bisa dibayangkan, apa yang berkecamuk di benak anak-anak korban perang itu
ketika segala sesuatunya tiba-tiba hilang.
Anak-anak korban perang niscaya akan tumbuh dengan jiwa yang terluka, dijejali dengan
setumpuk dendam kesumat yang tak akan hilang kapan pun. Pengalaman telah banyak
membuktikan bahwa anak-anak korban perang biasanya tumbuh menjadi tentara anak yang
menakutkan: mereka bahkan tak jarang menjadi bagian dari pasukan berani mati yang rela
bunuh diri asalkan memperoleh kepuasan karena berhasil membunuh lawan yang telah
merenggut nyawa orangtua, teman, dan orang-orang yang mereka cintai.
Selain menimbulkan kematian, tak sekali-dua kali perang juga menimbulkan kecacatan fisik
yang permanen, luka batin yang mendalam, dan harga diri yang terkoyak. Perang yang terjadi
di Bosnia-Herzegovina dan Kroasia, Banglades, Kamboja, Haiti, Siprus, Rwanda, Somalia,
Uganda, dan di mana pun telah banyak membuktikan bagaimana nasib anak-anak korban
perang.
2 / 3
Anak-anak Korban Perang
Anak-anak korban perang niscaya akan terlunta-lunta, kelangsungan hidupnya terganggu,
bahkan yang mengerikan adalah ketika sebagian anak-anak perempuan kemudian juga
menjadi korban efek samping perang: mereka diperkosa tentara musuh sebagai tanda
penundukan sekaligus senjata untuk melakukan tekanan untuk mendemoralisasi semangat
lawan.
Menurut kesepakatan internasional, perang jika memang harus terjadi atau tidak lagi
terhindarkan, maka anak-anak sesungguhnya mutlak harus dipastikan tidak menjadi korban
situasi. Akan tetapi, yang ironis, di kalangan bangsa-bangsa yang mengaku paham hak asasi
manusia dan mengklaim sebagai bangsa yang bermoral ternyata yang mereka lebih
kedepankan tampaknya adalah kepentingan yang sifatnya pragmatis, harga diri yang terlalu
egois, dan arogansi.
Alih-alih bersedia memilih jalan damai atau minimal menyelesaikan sengketa lewat jalur dialog,
tidak sedikit pemimpin negara di dunia ini ternyata lebih memilih perang sebagai jawaban atas
ketidaksabaran dan rasa superordinasi. Bahkan, tidak jarang terjadi, agama pun kemudian
menjadi dasar pembenar ditempuhnya jalan perang untuk menghilangkan musuh atau
legitimasi untuk membela harga diri dan dalih demi kepentingan agama masing-masing pihak
yang bersengketa.
Bagi anak-anak yang menjadi korban perang, situasi konflik yang hadir di sekitar mereka
bahkan bukan tidak mungkin justru menjadi proses pembelajaran dan bentuk sosialisasi tindak
kekerasan yang paling masif dan mengindoktrinasi. Menangani anak-anak yang menjadi korban
perang dengan bantuan kemanusiaan dan layanan kesehatan untuk merehabilitasi luka-luka
fisik, benar untuk jangka pendek memang diperlukan.
Tetapi, lebih dari sekadar penanganan yang sifatnya darurat-penyelamatan, bagi anak- anak
yang menjadi korban perang justru pertolongan yang paling dibutuhkan adalah bagaimana kita
semua mampu merekonstruksi kembali sejarah kelam yang mereka baru lalui dan segera
belajar bahwa perang adalah cara biadab yang sama sekali harus dihindari untuk mencegah
tumbuhnya benih-benih peperangan dan kekerasan di masa yang akan datang.
Bagong Suyanto Dosen Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga; Mengajar Mata Kuliah
Masalah Sosial Anak
3 / 3

0 komentar:

Posting Komentar

Please coment,But no Spam Ty!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
AIDIT SI BELALANG TEMPUR © 2008 Template by:
SkinCorner