Minggu, 17 Oktober 2010

The Clash

Panggilan dari The Clash

 

Saya sudah beberapa hari membaca buku ini ketika tadi siang saya mendapat piringan hitam album perdana Elvis Presley di toko vinyl dekat kampus. Tadi itu saya sedang bekerja di library kampus ketika ada kejadian konyol, listrik padam tanpa sebab. Mungkin ada yang rusak, yang jelas ada pengumuman bahwa akan butuh waktu satu jam untuk memperbaikinya. Karena pas jam makan siang, saya memutuskan keluar mencari makan. Karena tidak bisa memutuskan akan makan dimana – apakah McDonald’s, Subway atau Burger King – kaki saya justru melangkah menuju toko vinyl dekat kampus.



Batal makan siang (tahan lapar sedikit lah, makan di rumah aja..he..he), saya malah menyambar album Elvis itu yang covernya serupa tapi tak sama dengan cover album London Calling karya grup punk legendaris asal Inggris, the Clash. Karena sedang membaca buku soal studi komparasi tadi, rasanya menarik untuk sedikit membandingkan dua album ini karena cover yang mirip itu.

Album yang saya dapat ini adalah album perdana Elvis, yang self-titled. Dirilis tahun 1956, album ini menjadi pintu bagi mengalirnya karya-karya hebat Elvis Presley berikutnya.
Melalui lagu-lagu yang menjadi klasik seperti “Blue Suede Shoes”, “Tutti Frutti” dan “Blue Moon” di album ini, Elvis memperkenalkan dirinya ke panggung musik dunia dengan gaya bernyanyi yang khas, meramu musik country dan rock and roll yang memikat. Suka atau tidak suka, Elvis Presley adalah nama yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah musik dunia, khususnya rock and roll. Tidak mengherankan apabila majalah Rolling Stone menempatkan album ini dalam urutan ke 56 di list 500 Greatest Albums of All Time.
Membaca kisah Elvis adalah membaca kisah kerja keras. Tidak punya cukup uang untuk membeli alat musik, ia mengamen sejak usia muda. Ia juga bekerja serabutan. Ketika akhirnya punya sedikit uang, Elvis mendatangi sebuah perusahaan rekaman dan meminjam studio untuk rekaman, dengan biaya dari uangnya yang tidak seberapa itu. Dalam beberapa bulan, rekaman lagu-lagu itu dirilis sebagai singles dan langsung menjadi sensasi. Selanjutnya adalah sejarah Elvis Presley yang legendaris. Elvis mendefinisikan musik rock and roll di jamannya, terutama tahun 1950-an.
Tentu kita tidak bisa serampangan membandingkan kualitas karya musik dari genre yang berbeda, apalagi dari zaman yang berbeda. Tidak adil dan mungkin tidak ada gunanya. Mungkin lebih bijaksana untuk melihat karya musik sebagai perwakilan zaman masing-masing. Elvis digemari pada zaman tertentu oleh penggemar yang khas, yang tentu saja memiliki alasan sendiri mengapa mereka menyukai personanya yang flamboyan dan talenta-nya itu. Demikian juga penggemar musik punk seperti yang diusung the Clash.
Patricia Romanowski dalam kata pengantar-nya untuk The Rolling Stone Encyclopedia of Rock & Roll (3rd edition, 2005) menulis begini:
“Every couple of years brings forth a new generation of listeners, another wave to hear the music and claim it as their own. That might make you feel older, but it can also make you feel somewhat wiser, too. Some of us know that one day Ricky’s skintight leather pants, Sean Combs’ phat furs, and Marilyn Manson’s trash-cum-glam gear will look every bit as fabulous and silly as the same duds once worn by the Lizard King, vintage Shaft-era Isaac Hayes, and Alice Cooper in his ingenue days”
Karena itu, kenyataan bahwa RS 500 menempatkan album London Calling pada urutan ke 8, sementara album Elvis tadi pada urutan ke 56 tentu tidak serta merta menunjukan bahwa yang satu lebih baik/buruk dari yang lainnya.
Saya demikian menyukai album London Calling dari the Clash yang dirilis tahun 1979 ini (beberapa, seperti majalah Rolling Stone, menyebut album ini dirilis tahun 1980. Namun dalam vinyl yang saya punya tertera tahun 1979). Album ini laku 2 juta copy, sesuatu yang luar biasa untuk kelompok musik punk. Namun, ia “hanya” mencapai urutan 27 dalam chart position. Sebaliknya, album Elvis Presley itu “hanya” laku 500.000 copy, namun ia menempati nomor 1 dalam chart position.
Cover London Calling merupakan representasi semangat sebuah zaman, yang memberontak terhadap kemapanan. Bukan hanya dalam konteks bisnis industri rekaman, ia juga mencerminkan pemberontakan dalam konteks sosial politik yang lebih luas. Musik punk sendiri memang sering dianggap sebagai pemberontakan atas industri musik yang korporatis, yang menyulitkan ekspresi berkesenian individual. Karena itulah, cover London Calling ini menjadi demikian menarik. The Clash seolah sedang melecehkan Elvis Presley. Layout, font dan warna huruf yang sama menjadi lelucon sarkastik atas musik mapan, yang mungkin memang diwakili oleh Elvis Presley.
Generasi punk tahun 1970-an ini adalah mereka yang dilahirkan pada tahun 1950-an, yang merupakan masa jaya Elvis. Pemberontakan generasi punk tentunya pertama-tama pemberontakan terhadap orang tua dan juga para pemimpin politik yang menikmati masa damai di tahun 1950-an (Perang Dunia baru selesai, Amerika menikmati masa kemajuan ekonomi dan teknologi yang mengesankan, dan kenyataan sebagai pemimpin negara-negara yang menang dalam Perang Dunia), dan mencapai kemapanan di tahun 1970-an.
Deklarasi pemberontakan diteriakan oleh the Clash dalam lagu paling akhir di album ini, “Revolution Rock”:
“Everybody smash up your seats and rock to this brand new beat! This here music mash up the nation, this here music cause a sensation! Tell your Ma, tell your Pa everything’s gonna be all right. Can you feel it? Don’t ignore it gonna be alright”.
Grup musik the Police, yang sedikit banyak juga berwarna punk, menulis lagu “Born in the 50s” (dalam debut albumnya Outlandos D’Amor, 1978, nomor 426 dalam RS 500) yang penggalan liriknya bersemangat mirip, begini: “You don’t understand us, so don’t reprimand us, we’re taking the future, we don’t need no teacher”.
Bisa dipahami mengapa the Clash memilih cover yang menarik ini. Semangat pemberontakan. Yang membedakan cover ini dari album Elvis tentunya adalah foto Paul Simonon sedang menghancurkan bass Fender-nya diatas panggung dalam sebuah konser the Clash di New York di tahun 1979 itu. Sangat kontras dengan cover foto Elvis sedang bernyanyi manis dengan gitarnya.
Ketika Elvis Presley meninggal dunia di awal tahun 1977, Johnny Rotten vokalis Sex Pistol, grup musik punk terbesar sepanjang masa, berkomentar dingin: “Good riddance to bad rubbish”. Cover London Calling ini seolah menandai berakhirnya era Elvis dan musik mapan lainnya. Apalagi sebelumnya the Clash pernah menulis lagu: “No Elvis, Beatles, or the Rolling Stone”.
Bahkan dalam lagu pertama yang berjudul sama dengan judul albumnya, “London Calling”, the Clash masih menghantam musik mapan, kali ini the Beatles: “London calling to the underworld, come out of the cupboard, all you boys and girls, all that phoney beatlemania has bitten the dust”.
Lagu “London Calling” ini, menurut saya, adalah lagu terbaik album ini. Dentuman bass yang ritmis menjadikan lagu ini seperti lagu mars yang bersemangat. Ditambah lagi dengan permainan gitar khas punk, menjadikan lagu ini masuk dalam 100 Greatest Guitar Songs of All Time menurut majalah Rolling Stone dalam edisi 12 Juni 2008 (klik di sini untuk melihat video klip-nya).
The Clash juga mengangkat persoalan-persoalan global dalam lagu-lagunya di album ini mulai dari global warming, era persaingan nuklir hingga berbagai konflik. Dalam lagu “London Calling” itu misalnya, Joe Strummer sang vokalis sekaligus gitaris berseru: “The ice age is coming, the sun is zooming in, engines stop running, and the wheat is growing thin, a nuclear error, but i have no fear, London is drowning – and I live by the river”.
Lagu lain yang berjudul “Spanish Bomb” diilhami oleh berita meledaknya bom di sebuah provinsi di Spanyol yang hendak memerdekakan diri. Memang, seperti diakui para personel grup ini, mereka memilih nama the Clash sebagai nama grupnya karena kata “clash” menurut mereka adalah kata yang paling sering dijumpai di surat kabar saat itu.
“Pemberontakan” lain yang dilakukan oleh the Clash adalah ketika mereka ngotot kepada perusahaan rekamannya bahwa album London Calling akan dijual dengan harga murah, dibawah harga pasaran piringan hitam ketika itu. Padahal, album ini adalah double album alias ada dua piringan hitam di dalamnya, dengan total 18 lagu. Perusahaan rekamannya harus mengalah, dan the Clash semakin dicintai penggemarnya. Memang berbeda dari Sex Pistol yang nihilis, the Clash lebih tepat disebut sebagai grup ‘protes’.
Walaupun semangat anti industri rekaman yang mendulang keuntungan berlimpah dengan kencang mereka suarakan, dalam lagu “Death or Glory” the Clash seolah mengingatkan dirinya sendiri bahwa menjaga idealisme dan mungkin juga sinisme terhadap musik mapan adalah hal yang sulit: ” n’ every gimmick hungry yob digging gold from rock n’ roll, grabs the mike to tell us he’ll die before he’s sold, but i believe in this – and it’s been tested by research, that he who f**k (disensor) nuns will later join church”
Meskipun akhirnya bubar pada tahun 1986, the Clash diakui sebagai salah satu band terhebat sepanjang masa. Bahkan majalah Rolling Stone menobatkan the Clash sebagai band terbaik untuk dekade 1980-an. Selanjutnya, setahun setelah Joe Strummer meninggal dunia tahun 2002, the Clash diabadikan ke dalam Rock and Roll Hall of Fame pada tahun 2003. Lengkap sudah pengakuan terhadap kelompok punk yang satu ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Please coment,But no Spam Ty!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
AIDIT SI BELALANG TEMPUR © 2008 Template by:
SkinCorner