Senin, 18 Oktober 2010

SEX PISTOL

Never Mind the Bollocks: Mahakarya Punk Sebenarnya

 


Pada banyak hal saya sependapat dengan kawan saya Taufiq. Tapi tentu ada beberapa perbedaan pendapat dengannya. Salah satunya adalah mengenai album apa yang merupakan mahakarya musik punk? Tempo hari Taufiq menulis bahwa baginya Marquee Moon (1977) dari Television, grup asal Amerika, adalah karya musik punk terbaik. Album Marquee Moon memang album dahsyat, tetapi buat saya album Never Mind the Bollocks, Here’s the Sex Pistols milik grup the Sex Pistols adalah mahakarya musik punk yang sebenarnya. Namun ketika itu saya tidak bisa menulis mengenai Sex Pistols karena belum mendapat piringan hitamnya (sekedar friendly reminder: blog ini tentang perburuan piringan hitam, sebuah album baru bisa ditulis kalau kami sudah memiliki piringan hitamnya).

Akhir pekan minggu lalu, pucuk di cinta ulam tiba. Saya akhirnya mendapat piringan hitam album Never Mind the Bollocks di sebuah toko vinyl di Rockford, kota tetangga tempat saya belajar ini. Bukan hanya album Sex Pistols ini, saya juga menemukan dua buah toko vinyl yang menarik. Akhir minggu lalu kami pergi ke Rockford, ke Asian grocery. Biasa, istri saya ingin belanja bahan makanan Indonesia persiapan bulan puasa. Tak disangka kami melihat dua toko vinyl dekat toko Asian grocery itu. Setelah belanja, mampirlah kami ke situ.
Toko yang satu memiliki neon sign gahar: B.T.A records – punk, metal, underground. Begitu saya buka pintu tokonya, aroma punk dan underground begitu terasa. Toko ini lebih mirip gudang. Ada sofa kotor tergeletak di pinggir, skateboard diletakkan sembarangan, dan ada genangan air cukup besar yang dibiarkan di tengah ruangan, bocoran dari atap akibat hujan deras malamnya. Di tembok banyak coretan graffiti, botol kosong berserakan di lantai. Musik punk terdengar keras melalui loudspeaker.
Saya tengok kiri kanan tidak ada orang. Tapi saya melihat rak tempat vinyl bekas yang dijual. Hanya sedikit, dua rak, mungkin hanya sekitar 30-an vinyl yang dipajang. Tapi saya bersorak keras-keras dalam hati, di situ tersandar album Never Mind the Bollocks, 6 dolar. Teman saya Taufiq bidding album ini di ebay belum berhasil menang.
Dulu pernah saya lihat di toko vinyl lain, album ini dijual 25 dolar. Mahal sekali buat saya. Walaupun saya suka musik, tapi harus ingat-ingat juga ada dua anak yang juga perlu dibelanjai. Budget mahasiswa minim…he..he. Sekarang, Never Mind the Bollocks terpampang disitu dengan harga semurah-murahnya. Dalam tempo sesingkat-singkatnya album ini berpindah ke tangan saya dari penjaga toko yang akhirnya muncul dengan wajah awut-awutan, jelas sisa hangover malam sebelumnya.
Sambil pulang, kami mampir ke toko satu lagi, namanya Toad Hall (bila berminat melihat, periksa link-nya di bagian “Toko Vinyl yang Kami Kunjungi”). Dahsyat sekali toko satu ini. Toko yang besar sekali ini menjual dua hal yang merupakan dunia saya: buku dan vinyl dalam jumlah ribuan. Rak berjajar di dinding dari atas ke bawah, juga di tengah-tengah. Ruangan untuk berjalan sempit. Di lantai bawah juga penuh dengan piringan hitam dan buku. Sayang saya tidak bisa berlama-lama, perut kami sudah kelaparan karena makan siang yang tertunda. Tetapi saya sempat menyabet dua vinyl dari situ. Album The Doors berjudul L.A Woman (1971, nomor 351 dari 500 Greatest Albums of All Time majalah Rolling Stone) dan album The B-52’s yang berjudul sama dengan nama grupnya (1979, nomor 151 dalam list RS 500 itu).
Sejarah toko ini menarik. Semula dimiliki sepasang suami istri. Sebelum menikah, sang suami memiliki toko vinyl dan sang istri memiliki toko buku. Dipertengahan tahun 1970-an mereka bertemu, menikah dan menggabungkan kedua toko itu menjadi satu. Tahun 2005 sang istri meninggal dunia. Sang suami begitu berduka, toko itu tutup setahun lamanya. Kemudian datang sepasang suami istri lain yang merasa kehilangan masa-masa menyenangkan mengunjungi toko itu sebelumnya. Mereka memutuskan membeli toko itu dan seluruh isinya, karena buat mereka bisnis buku dan musik adalah sesuatu yang menyenangkan dan mereka tahu banyak orang lain juga merasakan hal yang sama.
Ketika saya sedang mengeksplorasi rak-rak tempat vinyl, sang istri pemilik toko ini datang menghampiri: “don’t worry about the price, just bring what you like to the counter and we settle the price there”. Lalu berceritalah dia tentang toko ini. Inilah sesuatu yang menyenangkan selama saya menjalani hobi mengumpulkan vinyl akhir-akhir ini. Saya bertemu banyak orang, pemilik toko, yang memiliki passion untuk dunia musik, ramah, rendah hati, dan antusias bercerita macam-macam hal. Pergi ke toko vinyl saya merasakan interaksi yang hangat, bukan sekedar bayar barang yang kita beli di kasir seperti di toko-toko modern.
Anyway, di rumah langsung saya pasang dan nikmati album Never Mind the Bollocks yang oleh majalah Rolling Stone ditempatkan pada urutan 41 dari RS 500. Karena berasal dari genre yang sama, cukup adil membandingkannya dengan Marquee Moon yang oleh majalah Rolling Stone diletakan jauh dibawahnya, nomor 129. Ini cukup menjadi indikasi bahwa Never Mind the Bollocks dianggap memiliki pengaruh lebih luas bagi perkembangan musik rock and roll pada umumnya, lebih khusus lagi punk.
Memang banyak pemusik, punk atau bukan, mengakui bahwa mereka terinspirasi oleh Sex Pistols. Misalnya, the Clash, Buzzcocks, Joy Division dan lain sebagainya. Walaupun Sex Pistols bukanlah perintis musik punk (kalau bisa disetujui, maka The Stooges-nya Iggy Pop lah yang pantas disebut perintis musik punk), namun ia lah yang membawa musik punk kepada level yang belum ada sebelumnya, baik secara ideologis maupun dalam konteks bermusik secara umum. Sex Pistols secara konsisten menyuarakan dengan garang sikap anti kemapanannya, dari dulu hingga sekarang.
Seperti tertulis dalam buku Rolling Stone Encyclopedia of Rock & Roll (2005), memang grup ini dibentuk oleh promotor Malcom McLaren dengan kesadaran penuh untuk melawan kemapanan. Malcom McLaren adalah pemilik sebuah butik di London yang khusus menjual pakaian “anti-fashion”. Ia sudah memiliki visi sejak lama, terutama ketika ia menjadi manager kelompok The New York Dolls sekitar tahun 1975, bahwa musik rock and roll adalah venue yang tepat untuk menyuarakan semangat anti-kemapanan. Seorang karyawan butiknya, Glen Matlock (belakangan diganti oleh John Richie) memiliki band bersama Paul Cook dan Steve Jones dan suatu ketika membutuhkan penyanyi. McLaren yang diberitahu langsung merekomendasi John Lydon, anak muda berusia 19 tahun, yang sering mampir ke butik itu dan terkenal karena keberangasannya. Walaupun John Lydon belum pernah menyanyi sekalipun, anggota band yang lain terkesan dengan karismanya, dan terbentuklah Sex Pistols. Anggota band yang lain mengganti namanya menjadi Johnny Rotten, karena Lydon tidak mempedulikan kebersihan.
Tahun 1976 Sex Pistols mulai dikenal komunitas musik di Inggris. Bulan Desember tahun 1976 single pertama “Anarchy in the U.K” (klik di sini) dirilis dan langsung menggemparkan Inggris. Bukan saja karena sound dan liriknya yang frontal (utamanya teriakan Rotten: “I am an anti Christ….”), keempat personil band ini tidak segan-segan menampilkan citra urakan serampangan di televisi. Dalam wawancara sebuah televisi nasional yang ditonton jutaan orang, mereka menyebut “f” word terus menerus yang menimbulkan kemarahan banyak orang. Jadwal konser Sex Pistols dibatalkan banyak promotor dan perusahaan rekaman EMI pun membatalkan kontraknya dengan grup ini.
Bulan Mei 1977 single kedua “God Save the Queen” yang berisi sindiran kasar kepada monarki Inggris diluncurkan (klik di sini). Lagu ini tentu saja segera dilarang diputar di Inggris, namun tetap mencapai nomor satu dalam independent chart song di sana. Akhirnya, di tahun 1977 itu, album Never Mind the Bollocks dirilis. Selain berisi “Anarchy in the U.K” dan “God Save the Queen”, dalam album ini juga terdapat lagu “E.M.I” yang berisi makian Sex Pistols terhadap perusahaan rekaman EMI. Inilah satu-satunya studio album Sex Pistols karena pada bulan Januari 1978, Johnny Rotten mengumumkan pembubaran Sex Pistols. Ia merasa Sex Pistols juga sedang menuju kemapanan dan semakin tidak suka dengan Malcom McLaren yang menurutnya oportunis.
Sex Pistols sebetulnya pernah melakukan tur reuni, sebelum maraknya tur reuni banyak grup senior belakangan ini (seperti the Police, Genesis, Rush dan lain-lain). Tahun 1996 keempat anggota Sex Pistols melakukan tur reuni yang dinamakan Filthy Lucre Tour ke Eropa, Amerika, Amerika Latin, Jepang dan juga Australia. Setelah itu, para personilnya sibuk dengan urusan masing-masing dan tetap bersikap antikemapanan. Johnny Rotten menolak hadir dalam penghargaan Rock and Roll Hall of Fame. Ia pun tetap bersuara keras dan menunjukan bahwa punk bukan hanya genre dalam bermusik tetapi merupakan sebuah pilihan sikap hidup. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Spin tahun ini, Johnny Rotten dengan lugas menyatakan bahwa “the Clash tidak pernah betul-betul menjadi punk yang sebenarnya”. Mungkin ini cerminan pandangan banyak orang bahwa memang Sex Pistols lebih nihilis ketimbang the Clash.
Toh, Johnny Rotten hadir dalam penganugerahan majalah musik Mojo yang memilih Sex Pistols sebagai pemenang The Mojo Icon Award 2008. Di acara itu pun Johnny Rotten masih memaki-maki audiens yang hadir:
“Welcome to England proper. You can’t smoke, you can’t drink, what the f**k can you do here anymore?” You’re coward, most of ya….the stuff we did, then, and I’m still doing now, is about being real, with proper, f***n’ honesty and integrity!…Celebrate the Sex Pistols, they’re what make you f***n’ proper British! And I accept this on the Sex Pistols’ behalf, you f***er!”
Dasar Johnny Rotten gelo’….

0 komentar:

Posting Komentar

Please coment,But no Spam Ty!!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
AIDIT SI BELALANG TEMPUR © 2008 Template by:
SkinCorner